expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'> Keterangan
السلام عليكم ورحة الله وبركاته

Monday, 10 April 2017

MAKALAH PROSES LAHIRNYA NAHDHATUL ULAM' (NU)

PROSES LAHIRNYA NAHDHATUL ULAM' (NU)
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Aswaja 1 ”
Dosen pengampu:
Fitri Wahyuni, M.SI.

Dosen pengampu:
Fitri Wahyuni, M.SI.
Di Susun Oleh :
SRIONO PAI 2A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FALKUTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN GIRI (INSURI)
PONOROGO
 2017

BAB I
PENDAHULAN
      A.    Latar Belakang Masalah
    Nahdlatul ulama sebagai organisasi menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunah wal jamaah ditengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia.
    Nahdlatul ulama berdiri pada 16 Rajab1344H (31 Januari 1926), organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rasis akbar
    Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunah wal jamaah. Yang dijadikan sebagai dasar rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam sosial keagamaan dan politik.[1]

    B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kelahiran NU?
2.      Siapa saja susunan pengurus NU?

    C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui kelahiran NU
2.      Untuk mengetahui susunan pengurus NU






BAB II 
PEMBAHASAN
     A.    Proses Kelahiran Nahdlatul Ulama
   Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang berperan sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Islam sekaligus pendalaman agama bagi pemeluknya secara terarah. Pengajaran di pondok pesantren yang bersumber pada kitab-kitab salaf merupakan media pelestarian dan pengalaman ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pemikiran para ulama bermadzhab dipelajari dipraktikkan dan dilestarikan sehigga menjadi amaliyah yang berurat dan berakar dalam masyarakat. Dari sinilah lahir suatu lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman ajaran Islam yang utuh dan benar.
Pada permulaan abad ke-19 masehi muncul gerakan yang mengaku sebagai  pembaruan Islam di Minangkabau, Sumatra Barat yang dipimpin oleh Haji miskin dan kawan-kawan sekembalinya di Makkah. Gerakan mereka serupa dengan aliran Wahabi yang berkembang di Saudi Arabia. Dalam mengenalkan gerakan pembaruannya, mereka menerapkan jalan kekerasan sehingga menyebabkan terjadi perang saudara yang dikenal dengan sebutan “Perang Padri”.
   Gerakan pembaharuan ini terus berkembang dengan membawa semboyan permurnian ajaran Islam dari segala bentuk bid’ah dan khurafat. Mereka mengancam penganut madzhab dan menentang amaliyah-amaliyah keagamaan, seperti ziarah kubur, tahlilan, berkirim doa kepada orang yang meninggal dunia dan membaca Shalawat Nabi. Mereka tidak segan segan-segan membicarakan masalah masalah khilafiyah yang sebenarnya merugikan persaudaraan antara sesama muslim.
    Sementara itu pada tahun 1924 terjadi perubahan politik di Saudi Arabia. Abdul bin Saud, pengikut aliran wahabi berhasil merebut kekuasaan dari Syarif Husen di kota Suci Makkah. Peristiwa ini selain menandai terjadinya perubahaan politik, juga pergeseran dalam aspek keagamaan, karena sejak itu aliran wahabi menjadi faham keagamaan yang resmi pada kerajaan Saudi Arabia.[1]
    Perubahan tersebut sangat berpengaruh di Indonesia, sehingga kelompok pembaru merasa mendapat siraman semangat baru untuk lebih gancar mendebatkan masalah masalah khalifiyah. Mereka sadar bahwa hal itu akan merusak ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi hanya dengan cara itulah mereka dapat menunjukkan jati dirinya di tengah-tengah masyarakat.
    Inilah yang kurang dapat diterima oleh ulama pesantren. Bagi mereka di saat-saat penjajahan Belanda harus dihadapi dengan kekuatan bersama, persatuan dan persaudaraan umat Islam lebih penting dari pada mendebatkan masalah masalah khalifiyahyang tidak akan ada ujung pangkalnya. Karena itu, bagi yang suka terhadap suatu hukum tertentu disilahkan mengamalkannya dan bagi yang tidak suka harus menghormatinya. Antara kedua belah pihak tidak perlu saling mencela atau mencaci, karena yang diberdebatkan hanyalah masalah masalah cabang (furu’) yang tidak akan mengurangi kemurnian pengalaman ajaran agama.
    Seruan para ulama pesantren untuk mempererat persaudaraan dan menghentikan perdebatan masalah khalifiyah itu tidak memperoleh tanggapan positis dari kelompok pembaru. Ketegangan antara kedua belah pihakpun sulit dihindari, terutama setelah Raja Ibnu Saud mengundang umat islam indonesia untuk menghadiri muktamar Dunia Islam di Makaah. Untuk keperluan tersebut pada bulan Agustus 1925 diadakan kongres al-Islam ke-4 di Yogjakarta dan pada bulan Febuari 1926 disenggarakan kongres al-Islam di Bandung. Kedua kongres tersebut dikuasai oleh kelompok Islam modernis, dan bahkan sebelum kongres Bandung mereka telah mengadakaan pertemuan terbatas di Cianjur yang salah satu keputusannya menetapkan delegasi yang akan dikirim yaitu: Cokroaminoto (serikat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). kongres Bandung hanya dimaksudkan untuk mengesahkan keputusan Cianjur tersebut.
      Karena kongres Bandung tidak melibatkan unsur ulama pesantren sebagian utusan, maka melalui KH. Abdul Wahab Hasbullahsebagai juru bicaranya mengusulkan agar penguasa baru di Saudi Arabia tetap menghormati amaliyah keagamaan dan pelaksanaan ajaran mazhab empat yang dianut oleh masyarakat setempat. Usulan inipun ditolak oleh kelompok pembaru dan bahkan mereka sepakat mendukung pelaksanaan paham Wahabi di Hijaz. [2]
     Menghadapi sikap keras kelompok pembaru tersebut, para ulama pesantren sepakat membentuk panitia khusus guna memperjuangkan aspirasi mereka mempertahankan berlakunya ajaran Islam Alussunnah wal Jamaah di Hijaz (Makah-Madinah). Sesudah persiapan matang, maka pada tanggal 14 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 januari 1926 M atas ijin KH. Hasyim Asya’ri, diadakan pertemuan di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah, jalan kertopaten Surabaya.
         Dalam pertemuan tersebut disepakati dua keputusan penting, sebagai berikut:
1.      Meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz dengan masa kerja samai delegasi yang diutus menemui Raja Ibnu Saud kembali ke tanah air.
2.      Membentuk jamiyah (organisasi) sebagai wadah persatuan ulama dalam tugasnya sebagai pemimpin umat yang diberi nama “Nahdlatul Ulama” artinya “Kebangkitan Ulama”.
      Tentang komite Hijaz disepakati untuk mengirim delegasi di luar komite      Khilafat yang terdiri dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syekh Ghanaim Al Misri. Delegasi ini diberi tugas untuk menghadap langsung kepada Raja Ibnu Saud menyampaikan permohonan agar diberlakukannya kemerdekaan bermazhab di negri Hijaz pada salah satu dari madzhab empat dan tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah bagi para jamaah haji.
          Delegasi komite Hijaz diterima oleh Raja Ibnu Saud pada tanggal 13 juni 1928. Dalam pertemuan tersebut Raja memberi tanggapan sangat positif terhadap tuntutan yang disampaikan. Raja juga memberi jawaban tertulis kepada pengurus besar Nahdlatul Ulama dengan nomor: 2082 Tanggal 24 Dzulhijjah 1346 H. Dalam surat tersebut Raja Ibnu Sa’ud menegaskan bahwa tidak ada larangan bagi jamaah haji melaksanakan amaliyah keagamaan di Baitullah Al Haram dan setiap orang diberi kebebasan mengikuti madzhabnya masing-masing.
      Dari uraian tersebut jelas bahwa pembentukan komite Hijaz yang telah memperoleh hasil gemilang dalam perjuangannya itu merupakan suatu paket dengan kelahiran Nahdlatul Ulama. Mereka yang duduk dalam komite Hijaz adalah para ulama yang mendirikan jamiyah Nahdlatul Ulama. Tujuan yang diperjuangkanya merupakan inti dari tujuan kelahiran NU yaitu terwujudnya masyarakat Islam berdasarkan faham Ahlussunah wal Jamaah.







     B.     Susunan pengurus Nahdlatul Ulama
1.      Syuriyah
Rasis Abar:      KH. Hasyim         Asy’ari (Jombang)
Wakil Rasis:     KH. A. Dahlan Ahyad (Surabaya)
Katib         :      KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)
Naibul Katib:   KH. Abdul Halim (Surabaya)
A’wan:             KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
                         KH. Ridlwan Abdullah (Surabaya)
                         KH. Amin Abdus Syukur (Surabaya)
                         KH. Amin (Surabaya)
                         KH. Said (Surabaya)
                         KH. Nahrawi Thahir (Malang)
                         KH. Hasbullah (Surabaya)
                         KH. Syarif (Surabaya)
                         KH. Yasin (Surabaya)
                         KH. Nawai Amin (Surabaya)
                         KH. Bisri Sausari (Jombang)
                         KH. Abdul Hamid (Jombang)
                         K. Abdullah Ubaid (Surabaya)
                         KH. Dahlan Abdul Qahar (Nganjuk)
                         K. Abdul Majid (Surabaya)
                         KH. Masyhuri (Lasem)
2.      Mustasyar        KH. Moh. Zubair (Gresik)
                         KH. Raden Muntaha (Madura)
                         KH. Mas Nawawi (Pasuruan)
                         KH. Ridlwan Mujahid (Semarag)
                         KH. R Asnawi (Kudus)
                         KH. Hambali (Kudus)
                         Syekh Ahmad Ghanaim Al Misri (Surabaya)




3.      Tanfdzyah
Ketua                    H. Hasan Gipo (Surabaya)
Wakil Ketua         H. Saleh Syamil (Surabaya)
Serkertaris            Moh. Shadiq (Surabaya)
Wakil sekertaris   H.nawawi (Surabaya)
Bendahara            H.Moh. Burhan (Surabaya)
                             H. Jafar (Surabaya).[3]




BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
           Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang berperan sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Islam sekaligus pendalaman agama bagi pemeluknya secara terarah. Pengajaran di pondok pesantren yang bersumber pada kitab kitab salaf merupakan media pelestarian dan pengalaman ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Pemikiran para ulama bermazhab dipelajari dipraktikkan dan dilestarikan sehiggacmenjadi amaliyah yang berurat dan berakar    dalam masyarakat. Dari sinilah lahir suatu lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman ajaran Islam yang utuh dan benar.
Menghadapi sikap keras kelompok pembaru tersebut, para ulama pesantren sepakat membentuk panitia khusus guna memperjuangkan aspirasi mereka mempertahankan berlakunya ajaran Islam Alussunnah wal Jamaah di Hijaz (Makah-Madinah). Sesudah persiapan matang, maka pada tanggal 14 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 januari 1926 M atas ijin KH. Hasyim Asya’ri, diadakan pertemuan di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah, jalan kertopaten Surabaya.
                        Dalam pertemuan tersebut disepakati dua keputusan penting, sebagai berikut:
1.      Meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz dengan masa kerja samai delegasi yang diutus menemui Raja Ibnu Saud kembali ke tanah air.
2.      Membentuk jamiyah (organisasi) sebagai wadah persatuan ulama dalam tugasnya sebagai pemimpin umat yang diberi nama “Nahdlatul Ulama” artinya “Kebangkitan Ulama”.               
2.      Saran
      Dmikianlah makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan upaya penyempurnaan. Oleh karena itu makalah ini masih memerlukan upaya penyempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah kami berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua.

DAFTAR PUSTAKA
        Ozky Ahm.2017. Makalah NU,(Online),15 (1):12-20,( http://makalahku.blogspot.co,id), diakses 03 Febuari 2017
        As’ad. 2012. Pendidikan aswaja ke NU-an. Sidoharjo: Al Maktabah


























 [1] As’ad, Pendidikan aswaja ke NU-an,
(Sidoharjo: Al Maktabah, 2012), 14
[2] Ibid.,17
[3] Ibid.,21







[1] http://makalahku.blogspot.co,id/201-309/makalah-nu.html.03 Januari 2017

1 comment:

  1. Casino Gaming, Entertainment and Resorts: How Do They Play?
    Casino 경상남도 출장마사지 Gaming, 전주 출장안마 Entertainment and Resorts 사천 출장안마 - 경산 출장안마 casino-gaming-online-the-charlottest-casino-online,the-charlottest-casino-online,the-charlottest-casino-online 하남 출장안마

    ReplyDelete

pasang
<<<Judul BLOG>>>>