expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'> Keterangan
السلام عليكم ورحة الله وبركاته

Tuesday, 6 December 2016

Makalah Paradigma Tassawuf Irfani


Paradigma Tassawuf Irfani


BAB II
PEMBAHASAN

   A.    Pengertian Tasawuf Irfani


Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui pemberian Tuhan (Mauhibah).

Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau ma’rifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakekat kebenaran tersingkap lewat ilham atau intuisi.

Murtadha mutahhari berpendapat bahwa irfan sebagai sebuah ilmu, memiliki dua aspek: praktis dan teoritis. Aspek praktis adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan tuhan. Irfan praktis ini disebut juga as- Sair wa as-Suluk. Sedangkan, aspek teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud secara ontologis, mendiskusikan manusia, tuhan serta alam semesta. Engan demikian irfan ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Irfan mendasarkan diri pada  ketersingkapan mistik yang kemudian di terjemahkan kedalam bahasa rasional untuk menjelaskannya[1].



     B.     Tokoh – tokoh Dalam Tasawuf  Irfani


Tokoh – tokoh yang mengembangkan tasawuf irfani:
a.       Rabi’ah al- adawiyyah

Nama lengkapnya adalah Umm Al-Khoir Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah. Dia lahir pada tahun 714 M, sebagai anak keempat dari keluarga ismail yang semuanya wanita. Dia meninggal pada tahun 185 H (801 M) di kotanya.

Ia dianggap sebagai orang mulia yang dihormati oleh orang-orang semasanya dikarenakan gaya hidupnya yang penuh dengan ibadah dan akhlaknya yang mulia, yang tidak mau membagi cintanya dengan sebuah perkawinan.

Tujuan zuhudnya Rabiyah yakni semuanya hanya untuk Tuhan, bukan karena mengharap. Baginya, surga atau neraka bukan persoalan yang diharpkan dan ditakuti, cintanya kepada Allah merupakan suatu nikmat yang tiada tara.[2]

b.      Dzunnun al- misri

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan disalah satu kawasan di Mesir bernama Ekhmim pada tahun 180 H (796 M) dan wafat pada tahun 246 H (856 M).

Kemasyurannya dikarenakan dia telah mengklasifikasikan Akhwal dan Maqramat para sufi secara khusus. Dia juga dipandang sebagai Bapak Paham ma’rifah karena dia memperkenalkan konsep baru tentang ma’rifah :
1.      Dia membedakan antara ma’rifah Sufiah dan akhliyah.
Ma’rifah Sufiyah digunakan oleh para Sufi dengan pendekatan kholbu. Ma’rifah Akhliyah diguinakan para teolog dengan pendekatan akal.
2.      Ma’rifah sebenarnya adalah musyahadah qolbiyah (penyaksian hati) hal ini karena ma’rifah itu menurutnya adalah fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali.
3.      Teori-teorinya tentang ma’rifah menyerupai gnosisme model neo plantonik. Teori ini kemudian dianggap serbagai jembatan menuju teori-teori wahdah asy-syuhud dan ittihad.[3]

c.       Junaid al-bagdadi

Dilahirkan di Nihawand Persia, tetapi keluarganya bertempat tinggal di Bahdad. Wafat pada tahun 910 M.

Dalam ilmu sufi, ia adalah pengikut setiap pamannya Syekh As-Sari As-Sakti.dari tulisannya, dalam sebuah risalah singkat dan catatan tentanbg para sufi, ditemukan bahwa baginya, cara hidup sufi berarti perjuangan terus-menerus untuk kembali pada asal seseorang, yaitu Tuhan dari mana semuanya terjadi. Imam Junaid menumpukkan semua pemikiran dan kecenderungan hati, setiap kekaguman, harapan dan ketakutanm, hanya kepada Tuhan. [4]

d.      Abu Yasid al-bustami

Dia lahir di Bustam, bagian timur laut persia Tahun 188 H dan wafat pada tahun 261 H.

Perjalanan abu Yasid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun,sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzab hanafi. Abu yasid dianggap sebagai pembawa paham al-fana dan al-baqa dan sekaligus pencetus faham al-ittihad. Fana dan Baqa diartikan sebagai suatu kondisi yang didalamnya tidak ada lagi perasaan, ketergantungan, dan keterkaitan dengan sesuatu selain Allah. Al-ittihad adalah suatu tingkatan seorang sufi telah merasa bersatu dengan tuhanya, tingkatan yang bmenunjukan bahwa yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “hai aku”.[5]

 e.       Jalaluddin Rumi

Dia dilahirkan pada tahun 1207 di Balkh(sekarang Afganistan). Jalaluddin mengikuti ajaran dan warisan tradisi ayahnya dan setelah ayahnya wafat, dia diperkenalkan kepada ilmun langsung dari Tuhan ( Ilmu laduni) dan misteri terdalam dalam kehidupan spiritual (hikmah) olehb syekh Burhanudin Muhaqiq al-Tirmidzi.[6]

f.       Al-hallaj

Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugisal-Husain Bin Mansyur bin Muhammad Al-Baidawi, lahir di Tur, salah satu desa dekat Baidah, Persia pada tahun 744 H (858 M ). Dia meninggal karena dihukum bunuh pada tahun 309 H (921 M).
Ajaran pokok dari al-Hallaj adalah hakikat semua agama adalah satu, karena semua mempunyai tujuan yang satu, yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, tuhan semua agama. [7]

C. Metode Pengamalan Tassawuf Irfani

1.      Tafakur


Secara harfiah ’Tafakur’ berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan terperinci (Gulen, 2001: 34). Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur. Bertafakur tentang ciptaan Allah s.w.t. merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian misteri ilahi di dalam kitab semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan spiritual menyerap cahaya pancaran ma’rifat Allah (Gulen, 2001: 35). Artinya, penelusuran di alam pikiran dan hati tersebut bisa memperkokoh keimanan serta taqarrub hamba kepada Allah s.w.t. Dalam proses tafakur, persepsi yang didapati dari tafakur itu dihubungkan dengan gambaran masa silam, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif untuk hidup di masa depan.
2.      Tazkiyat An-Nafs
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams [91]: 7-10).

Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu ’tazkiyat’ dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata ’zakka’ yang berarti penyucian (Ma’aluf dalam Solihin, 2003: 130). Kata ’an-nafs’ berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian jiwa . Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban Rasulullah saw . Perihal tersebut dapat dilihat dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 2. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifaq, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi dalam Solihin, 2003: 131). Sedang menurut Al-Ghazali dalam Solihin, (2003: 133), Tazkiyat An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti takhliyat an-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan jiwa dengan sifat terpuji) Achmad Mubarok (2002: 200) memaparkan, para mufasir berbeda pandangan tentang makna tazkiyat an-nafs, antara lain sebagai berikut: o Tazkiyah dalam arti para Rasul mengajarkan kepada manusia, sesuatu yang jika dipatuhi, akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan dengannya. Tazkiyah dalam arti menyucikan manusia dari syirik dan sifat rendah lainnya.


3.      Dzikrullah
Istilah ’zikr’ berasaldari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004: 85). Berzikir kepada Allah berarti zikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci (Al-Jilani, 2003: 97). Dzikrullah, adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin) Al-Quran mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur, yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat. Berikut penjelasannya:
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41). Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124 dan QS. Al-Hasyr [59]: 19).
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan kalbu (ma’rifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.
3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)
.
  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui pemberian Tuhan (Mauhibah). Dengan hati yang suci kita semua dapat berdialog secara batini dengan Tuhan, sehingga pengetahuan atau ma’rifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakekat kebenaran tersingkap lewat ilham atau intuisi. demikian irfan ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Irfan mendasarkan diri pada  ketersingkapan mistik yang kemudian di terjemahkan kedalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Tokoh-tokoh dalam tasawuf irfani :
1.      Rabi’ah al- adawiyyah
2.      Dzunnun al- misri
3.      Junaid al-bagdadi
4.      Abu Yasid al-bustami
5.      Jalaluddin Rumi
6.      Al-hallaj

B.     Kritk dan Saran
Penyusun mengetahui betul bahwa buah karya yang dipergunakan untuk memenuhi tugas ini jauh dari sempurna, maka penulis sangat mengharapkan kritik atau saran dari para pembaca. Kritik dan saran bagi penulis adalah sesuatu yang sangat berarti untuk menjadi yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Alba, Cecep Tasawuf dan Tarekat, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2014)
Rifa’I, Bachrun Filsafat tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010)
Haeri, Fadhlalla Jenjang-jenjang Sufisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000)



[1] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2014), 92
[2] Bachrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), 89
[3] Ibid, 94
[4] Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), 172
[5] Bachrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), 97
[6] Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), 179
[7] Bachrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), 100

No comments:

Post a Comment

pasang
<<<Judul BLOG>>>>