MAKALAH PEMBAHASAN TENTANG IJMA'
PAI 4 A INSURI PONOROGO
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi
Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).[1]
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat
Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini
memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW. yaitu seluruh
umat Islam, termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam
definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW.
Alasannya, karena pada masa Rosulullah ijma tidak diperlukan, sebab keberadaan
Rosulullah SAW. sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[2]
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’
dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada
beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur yaitu:
1.
Ada
sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak
mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan
pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2.
Bila
ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu
masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan
atau kelompok mereka.
3.
Kesepakatan
semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap
ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju,
sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4.
Kesepakatan
para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu,
sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.[3]
B.
Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa
terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1.
Yang
bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid.
Secara umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai
kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita
“jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang
fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa
yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat
terpuji dan mampu mengistimbatkan hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang
belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula
penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2.
Yang
bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun
sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’
itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa
ijma’ itu sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud
kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu
pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3.
Para
mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad
SAW. tidak bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain
yang berijma’, adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin
bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4.
Dilakukan
setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi
senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik
adna itu dianggap sebagai syariah.
5.
Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada
kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan
lain-lain.[4]
C.
Macam-macam
Ijma’
1.
Ijma’
qauli atau ijma’ sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara
lisan maupun tulisan yang terdapat persetujuan dari mujtahid pada zamannya.
Ijma’ ini disebut juga ijma’ bayani atau ijma’ qothi.
2.
Ijma’
sukuti atau ijma’ ghair sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid
dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah
apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya:
a.
Diamnya
para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan.
b.
Keadaan
diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahan.
c.
Permasalahan
yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah maslah ijtihad yang
bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.[5]
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak
dapat dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian
ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa
atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap
senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai
landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena
jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru merka harus tegas
menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, artinya setuju.
3.
Ijma’
sahabat. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para sahabat.
4.
Ijma’
ahlul bait. Yaitu semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan Nabi
Muhammad SAW. Yang dimaksud ahli bait oleh mereka adalah: Fatimah, Ali, Hasan
dan Husain.
5.
Ijma’
ulama Madinah. Menurut Malik bahwa yang telah yang telah diijma’i oleh ulama
Madinah, wajiblah kita turuti. Tegasnya ijma’ mereka dijadikan hujjah, wajib
diamalkan.[6]
D.
Kehujjahan
Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang
wajib diamalkan, karena ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an
dan hadist. Dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama adalah:
1.
Firman
Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 115 yang artinya “Dan barang siapa yang
menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam”. Hal ini
berarti wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu para mujtahid
yang menyepakati suatu hukum syara’.
2.
Hadist-hadist
Nabawi yang menunjukan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan kesesatan,
yaitu hadist yang saling menguatkan satu dengan lainnya, yang telah diterima
umat, mutawatir dan dapat dipakai sebagai hujjah. Diantara hadist-hadist itu
adalah:
لاَتَجْتَمِعُ
اُمَّتِى عَلَى ضَلاَ لَةٍ
Artinya:
“Umatku tidak akan berkumpul (ijma’) untuk suatu kesalahan.
مَنْ
فَا رَ قَ الجَمَا عَةَ وَ مَا تَ
Arinya: “Barang siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati,
maka matinya itu didalam keadaan jahiliyah.
3.
Bahwa
kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan pengetahuan
mereka berbeda-beda, menujukan bahwa pendapat ini jelas kebenarannya. Sebab
seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat mereka maka terjadilah
perselisihan di antara mereka. Adapun contoh hukum syara’ yang didasari oleh
ijma’ adalah:
a.
Pengangkatan
Abu Bakar Ash-Siddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b.
Pembukuan
Al-Qur’an.
c.
Menentukan
awal bulan ramadhan dan bulan syawal.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil
pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’
dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada
beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan
sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)
B.
SARAN DAN KRITIKAN
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara
sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat
(masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2007.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Ahmad Taqwim, “Problematika Ijma”, http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, PengantarHukum Islam (Semarang: PT
PustakaRizki Putra, 1997)
Drs. Chaerul Umam,dkk. Ushul Fiqh I. (Bandung : CV. Pustaka Setia,
1998). Hal : 74
Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka
Setia 2007.
[2]
Drs. Chaerul Umam,dkk. Ushul Fiqh I. (Bandung : CV. Pustaka Setia,
1998). Hal : 74
[5] Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, PengantarHukum Islam (Semarang: PT PustakaRizki Putra,
1997), 195.
[6]
Ibid, Rachmat Syafi’I, hal: 72
[7]
Ahmad Taqwim, “Problematika Ijma”,
http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html,
diakses 28 April 2015.
No comments:
Post a Comment