expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'> Keterangan
السلام عليكم ورحة الله وبركاته

Thursday, 19 May 2016

MAKALAH TENTANG IJMA'


MAKALAH PEMBAHASAN TENTANG IJMA'
PAI 4 A INSURI PONOROGO

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).[1]
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW. yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rosulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rosulullah ijma tidak diperlukan, sebab keberadaan Rosulullah SAW. sebagai syar’I (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[2]
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur yaitu:
1.      Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2.      Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka.
3.      Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4.      Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.[3]

B.     Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1.      Yang bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid.
Secara umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistimbatkan hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2.      Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.


3.      Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4.      Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah.
5.      Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.[4]
C.     Macam-macam Ijma’
1.      Ijma’ qauli atau ijma’ sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan maupun tulisan yang terdapat persetujuan dari mujtahid pada zamannya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ bayani atau ijma’ qothi.
2.      Ijma’ sukuti atau ijma’ ghair sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya:
a.       Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan.
b.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahan.
c.       Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah maslah ijtihad yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.[5]



Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru merka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, artinya setuju.
3.      Ijma’ sahabat. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para sahabat.
4.      Ijma’ ahlul bait. Yaitu semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud ahli bait oleh mereka adalah: Fatimah, Ali, Hasan dan Husain.
5.      Ijma’ ulama Madinah. Menurut Malik bahwa yang telah yang telah diijma’i oleh ulama Madinah, wajiblah kita turuti. Tegasnya ijma’ mereka dijadikan hujjah, wajib diamalkan.[6]


D.    Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan, karena ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist. Dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama adalah:
1.      Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 115 yang artinya “Dan barang siapa yang menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam”. Hal ini berarti wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu para mujtahid yang menyepakati suatu hukum syara’.

2.      Hadist-hadist Nabawi yang menunjukan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan satu dengan lainnya, yang telah diterima umat, mutawatir dan dapat dipakai sebagai hujjah. Diantara hadist-hadist itu adalah:
لاَتَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَ لَةٍ
Artinya: “Umatku tidak akan berkumpul (ijma’) untuk suatu kesalahan.
مَنْ فَا رَ قَ الجَمَا عَةَ وَ مَا تَ
Arinya: “Barang siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati, maka matinya itu didalam keadaan jahiliyah.
3.      Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan pengetahuan mereka berbeda-beda, menujukan bahwa pendapat ini jelas kebenarannya. Sebab seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat mereka maka terjadilah perselisihan di antara mereka. Adapun contoh hukum syara’ yang didasari oleh ijma’ adalah:
a.       Pengangkatan Abu Bakar Ash-Siddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b.      Pembukuan Al-Qur’an.
c.       Menentukan awal bulan ramadhan dan bulan syawal.[7]







BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)

B.     SARAN DAN KRITIKAN
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.






DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Ahmad Taqwim, “Problematika Ijma”, http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, PengantarHukum Islam (Semarang: PT PustakaRizki Putra, 1997)
Drs. Chaerul Umam,dkk. Ushul Fiqh I. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998). Hal : 74
Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.


[1] Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung 1973. hal. 128
[2] Drs. Chaerul Umam,dkk. Ushul Fiqh I. (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998). Hal : 74
[3] M. Ali Hasan “Perbandingan Mazhab”, Jakarata 2002. hal 24-25
[4] Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. ”Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007-hal 70-71.
[5] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, PengantarHukum Islam (Semarang: PT PustakaRizki Putra, 1997), 195.
[6] Ibid, Rachmat Syafi’I, hal: 72
[7] Ahmad Taqwim, “Problematika Ijma”, http://syaeful-amru.blogspot.com/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html, diakses 28 April 2015.

No comments:

Post a Comment

pasang
<<<Judul BLOG>>>>